Setelah lulus universitas, segalanya berubah. ekspektasi, teman, semuanya serba tidak stabil. ditambah sebetulnya saya tidak punya hak untuk menulis seakan-akan memiliki waktu luang. Ketidakstabilan ini membuat saya sama sekali tidak punya waktu luang.
Diantara ketidak stabilan ini, hari ini saya diminta mama untuk menemani adik yang merayakan ulang tahun Jakarta di sekolahnya. dari sehabis subuh karen sudah didandani baju adat betawi yang membuat dia terlihat sangat manis. Jadi saya memutuskan untuk membawa kamera kesayangan yang sudah 2 bulan nganggur di lemari untuk foto sana sini.
Sampai di pintu gerbang sekolah terlihat beberapa dara kecil mengenakan kebaya. Terseok-seok karena tidak biasa mengenakan kain lipat. anak laki-laki juga mengenakan baju ala si pitung tapi jujur saja kalah mencolok dibandingkan pakaian adat wanita jakarta yang warna-warni. Semua warna terang. Terdengar suara mereka tertawa,, atau merengek karena si ibu masih saja ribet mendandani.
Dari lensa kamera saya menyadari sesuatu yang menarik. Suasana hari yang tidak biasa membuat mereka kembali bersemangat memainkan permainan tradisional seperti gobak sodor, ular-ularan, tak jongkok, atau sekedar kejar-kejaan. Mereka tidak lagi terlihat sibuk bermain hp.
Saya jadi ingat ketika saya sd belum ada yang namanya hp hadir ke lingkungan bermain. Zaman terus maju. Segala alat elektronik datang, permainan anak tradisional mulai dilupakan. Terkadang saya bertanya. Benarkah kita harus mengikuti zaman? Adakah yang melarang jika saya mau begini saja. Bukan berarti puas dengan keadaan sekarang, tapi merasa kedadaan sekarang lebih baik. Hp maupun komputer, permanan yang ada didalamnya, membuat anak-anak menjadi skeptis pada keadaan sekitar. Dunia menjadi ada di kepala masing- masing. Imajinasi masing-masing. Kepedulian hanya lalu seperti nyeri dalam hati, perasaan tidak enak atau simpati yang singgah sebentar saja.
Kesibukan orang tua, maaf berburuk sangka, ketidak hadiran orang tua di kehidupan anak secara intim digantikan oleh kehadiran handphone dan permainana elektronik lainnya. Tidak sadarkah begitu memberi alat tersebut berarti memutus dunia anak itu dengan sekitar? Apalagi tanpa pengawasan. Yang muncul dipermukaan adalah sikap anak yang arogan dan tidak mau peduli, yang tersimpan di dalam adalah rasa kesepian dan kecewa.
Beruntung orang tua saya di rumah selalu mengajarkan menghormati orang yang lebih tua dan rakyat kecil. Dimana penyetaraan derajat bukan terletak pada profesi apa yang ia jalani tapi perbuatan yang dia lakukan. Saya terkejut melihat anak yang akan membeli es teh. Dengan nada suruhan pada abang penjual minuman. "teh satu pake susu , cepet!" seakan-akan dia bos besar. Muak melihatnya. Mana kata, "tolong", "terimakasih", senyuman. Tidak ada. Bahkan pernah saya tahu bahwa ada anak yang menampar pembantunya. Anak ini masi berumur kira-kira 10 tahun. dan pembantunya mungkin sudah diatas 20 tahun. Miris ketika saya tahu.
Zaman memang berubah. Mungkin saya bandingkan dengan novel yang baru saya baca , 'para priyayi" karya umar kayam, sungguh berbeda dengan sekarang. Yang saya maksud bukan cara berpakaian atau kendaraan yang mereka punya adalah andong dengan sekarang yang pakaian beragam dan mobil dimana-mana. Ternyata pergeseran itu juga terjadi pada bagaimana kita mememperlakukan orang lain. Sikap kita pada sesama dan orang yang lebih tua. Buku ini enjadi tamparan bagi saya dan kembali mendudukkan saya pada hal-hal yang sifatnya nyata, bukan duniawi saja.
Saya bukan tidak memihak pada perubahan zaman. tapi setidaknya hati saya berharap, meskipun zaman berubah lebih maju, tapi tidak harus berubah pula nilai-nilai yang sifatnya mendasar. Seperti rasa hormat, kasih sayang, ramah. Dan nilai-nilai itu diturunkan bukan hanya dalam keluarga tapi pada hubungan sekecil apapun, bahkan dari seorang kakak pada seorang adik atau pada sesama orang asing.
Ada satu kalimat yang selalu saya ingat dan kalimat ini diucapkan oleh sesorang yang menurut saya sangat bijak, kata beliau, "Dunia memang gila, tapi kita ga boleh ikutan gila." Dalam arti segala perubahan yang dalam nurani kita terasa tidak pas, sebagai makhluk yang punya akal, kita harus memikirkan kembali, menimbang, dan mengambil inti yang akan membuat dunia ini lebih baik secara universal, bukan hanya sebagian saja apalagi hanya untuk kepuasan diri sendiri. Dan selalu saya ingat, segala sesuatu dimulai dari diri sendiri.
Jakarta,
22 Juni 2010
No comments:
Post a Comment